Ketika Anak-Anak Menjadi Penjaga Masa Depan
Outdoor Learning SDK Untung Suropati II di Kampung Edukasi Sampah
Ada pelajaran yang tidak pernah selesai hanya dengan membaca halaman buku, menghafal teori, atau mencatat di lembar tugas. Ada pelajaran yang hanya bisa dipahami ketika disentuh, dialami, dan dihayati. Dan pagi itu, pelajaran semacam itu sedang menunggu 35 siswa kelas 3 SDK Untung Suropati II Sidoarjo, yang datang bersama empat guru pendamping untuk mengikuti kegiatan Outdoor Learning di Kampung Edukasi Sampah, Sekardangan, Sidoarjo. Kunjungan ini bukan sekadar agenda rekreasi sekolah, tetapi bagian dari upaya pembelajaran kontekstual dan pembentukan karakter peduli lingkungan sebagaimana tertulis dalam surat resmi pengajuan kunjungan dari sekolah.
Begitu rombongan memasuki area kampung, rasa ingin tahu itu langsung terlihat. Beberapa siswa terpukau dengan suasana yang bersih, rapi, dan penuh tanaman hijau. Ada yang berbisik pelan kepada temannya, “Kok nggak bau? Padahal namanya Kampung Edukasi Sampah.” Kalimat spontan itu justru menjadi titik awal kesadaran bahwa kata sampah tidak selalu identik dengan kotor, bau, dan tak nyaman. Di tempat ini, sampah menjadi bahan belajar, sumber kreativitas, bahkan peluang perubahan.
Kegiatan dimulai dengan pengenalan konsep memilah sampah sesuai jenisnya. Anak-anak belajar bahwa tong sampah warna-warni bukan hanya dekorasi, tetapi sistem untuk menjaga bumi tetap sehat. Ada momen lucu ketika beberapa siswa masih keliru memasukkan sampah pada tempat yang tidak sesuai, tetapi justru dari kekeliruan itulah mereka mulai memahami bahwa membuang sampah bukan sekadar gerakan tangan, melainkan keputusan yang berdampak pada lingkungan.
Setelah itu, pengalaman baru kembali hadir ketika mereka memegang bahan kompos untuk pertama kalinya. Pada awalnya, sebagian siswa tampak ragu dan mundur selangkah mungkin karena tekstur atau aroma. Tetapi beberapa menit kemudian, rasa ingin tahu mengalahkan rasa canggung. Ketika mereka melihat bagaimana sisa dapur, daun kering, dan tanah dapat berubah menjadi pupuk yang menyuburkan tanaman, pelajaran itu terasa seperti sihir ilmiah yang sederhana, tapi bermakna. Salah satu siswa bahkan berkata dengan polos, “Berarti sampah bisa jadi kehidupan lagi ya?” Kalimat itu terdengar ringan, namun sebenarnya mengandung makna tata kelola lingkungan yang sedang diperjuangkan banyak negara.
Bagian akhir kegiatan menjadi ruang kreativitas. Botol plastik berubah menjadi prakarya yang berharga. Kardus berubah menjadi hiasan dinding. Tutup botol menjadi mozaik penuh warna. Beberapa murid tampak bangga menunjukkan karya yang mereka buat dari sesuatu yang tadinya dianggap tidak berharga. Di momen itu, anak-anak tidak hanya belajar mengurangi sampah, tetapi juga belajar memaknai ulang sesuatu bahwa yang terlihat tidak berguna masih bisa diselamatkan dari tempat pembuangan.
Yang paling menarik mungkin bukan materi, alat, atau tahapan belajar. Yang paling menyentuh adalah momen kecil yang muncul setelah kegiatan selesai. Saat hendak pulang, seorang siswa menunduk mengambil potongan sampah kecil di dekat kursinya dan membuangnya ke tempat yang benar. Tidak ada yang menyuruh. Tidak ada yang melihatnya sebagai tugas. Itu muncul dari kesadaran yang tumbuh diam-diam di hati.
Kegiatan hari itu mengajarkan satu hal penting: menjaga lingkungan bukanlah kegiatan besar yang hanya bisa dilakukan pemerintah atau teknologi canggih. Ia dimulai dari cara berpikir, dari pemahaman, dari pembiasaan, dan dari sikap sederhana yang dilakukan berulang-ulang. Dan anak-anak hari ini telah memulai langkah itu.
Jika suatu hari nanti dunia menjadi tempat yang lebih bersih, lebih hijau, dan lebih peduli pada bumi, mungkin perjalanan itu dimulai dari pagi sederhana ini. Dari langkah-langkah kecil siswa sekolah dasar yang belajar bahwa bumi bukan hanya tempat tinggal, tetapi titipan yang harus dijaga.
Karena masa depan lingkungan bukan dibentuk besok, tetapi dimulai hari ini di tangan kecil yang mulai belajar peduli.







