Dari Sampah Menjadi Pembelajaran Hidup
60 Siswa Sekolah Futuhiyah Sukodono Belajar Ekologi di Kampung Edukasi Sampah
Pada hari Kamis, 27 November 2025, suasana Kampung Edukasi Sampah di Sekardangan terasa lebih ramai dari biasanya. Sebanyak 60 siswa dari Sekolah Futuhiyah Sukodono tiba dengan penuh antusias, didampingi para guru yang siap mendampingi proses belajar di luar kelas. Bukan sekadar kunjungan biasa, kegiatan ini menjadi ruang pembelajaran nyata tentang bagaimana lingkungan dapat menjadi sumber ilmu yang hidup sebuah pelajaran yang tidak hanya dibaca, tetapi dirasakan dan dipraktikkan.
Sejak menginjakkan kaki di lokasi, para siswa langsung disambut dengan lingkungan yang berbeda dari suasana sekolah formal. Di sini, sampah bukan dianggap masalah semata, tetapi bahan pembelajaran sekaligus sumber potensi. Para fasilitator kemudian memulai kegiatan dengan menjelaskan kenyataan mengenai masalah sampah di masyarakat dan bagaimana setiap orang memiliki peran dalam mengatasinya.
Anak-anak mulai diperkenalkan pada konsep pemilahan sampah berdasarkan jenisnya: organik, anorganik, dan residu. Dengan berbagai contoh benda sehari-hari seperti botol plastik, kertas bekas, daun kering, hingga sisa makanan, mereka belajar membedakan mana yang bisa dimanfaatkan kembali dan mana yang harus diminimalkan. Beberapa siswa tampak antusias ketika diminta memegang dan memilah sampah tersebut; kegiatan itu membuat mereka tersadar bahwa apa yang sering dianggap sepele ternyata berdampak besar pada lingkungan.
Bagian yang paling menarik perhatian siswa adalah praktik mengolah sampah organik menjadi kompos. Di hadapan mereka, kulit pisang, daun kering, dan sisa dapur diolah menjadi pupuk alami melalui metode sederhana namun efektif. Saat proses berlangsung, beberapa siswa tampak bertanya-tanya apakah kompos ini nanti bisa digunakan untuk tanaman sekolah atau bahkan tanaman di rumah mereka. Pertanyaan-pertanyaan polos itu menjadi bukti tumbuhnya rasa ingin tahu sekaligus kesadaran ekologis di dalam diri mereka.
Tidak berhenti di situ, para siswa kemudian diajak memanfaatkan sampah anorganik untuk membuat kerajinan tangan. Botol plastik berubah menjadi tempat pensil/bolpoint, kertas bekas menjadi karya seni, dan bungkus minuman menjadi aksesori kreatif. Di tengah kesibukan menggunting, menempel, dan menghias, terdengar suara tawa dan seruan bangga ketika karya-karya sederhana itu mulai terbentuk dan menunjukkan bentuk akhir.
Salah satu guru pendamping menyampaikan rasa terima kasihnya atas kesempatan belajar ini. Ia menyebut kegiatan seperti ini sangat berarti karena tidak hanya memberikan pengetahuan teknis tentang pengelolaan sampah, tetapi juga membentuk karakter dan pola pikir yang peduli lingkungan. “Siswa tidak hanya belajar cara memilah dan mengolah, tetapi juga belajar memahami mengapa hal itu penting,” ungkapnya.
Menjelang akhir kegiatan, para siswa diajak sejenak merenungkan apa yang telah mereka lakukan. Di momen singkat itu, mereka diingatkan bahwa bumi yang mereka tinggali bukanlah tempat sementara, melainkan ruang hidup yang harus dijaga. Apa yang mereka lakukan hari ini memilah sampah, membuat kompos, dan mengolah limbah bukan tugas besar, tetapi langkah kecil yang memberikan harapan bagi masa depan.
Kunjungan Sekolah Futuhiyah Sukodono ke Kampung Edukasi Sampah menjadi bukti bahwa pendidikan lingkungan dapat menjadi pengalaman yang hidup dan bermakna. Di balik tumpukan botol plastik dan dedaunan kering, ada pelajaran besar tentang tanggung jawab, kesadaran, dan masa depan bumi.
Sebuah kesadaran tumbuh hari itu bahwa menjaga lingkungan bukanlah tugas orang dewasa semata, melainkan perjalanan panjang yang harus dimulai sejak kecil. Dan mungkin, di antara 60 siswa itu, telah tumbuh generasi baru yang kelak menjadi penjaga bumi.








